EGOISME DAN EKSISTENSI

Dari mana aku harus memulai uraian ini? Hmm, Mungkin menyelami masa lalu akan memberi ku ruang bagaimana kisah ini tersampaikan, sehingga tidak ada hati yang salah memahami hakikat dari sebuah tujuan.

Egoiskah aku?
Ketika dulu dengan teman-teman bersikeras untuk tidak mau mencuci pas foto tanpa jilbab.

Masih jelas dalam ingatan bagaimana kami dipanggil oleh kepala sekolah, hanya karena mempertahankan identitas kami sebagai muslimah. Entah kekuatan itu datangnya dari mana, kami semua tetap tidak bergeming saat ancaman dari kepala sekolah terucap, “Jangan salahkan saya jika kalian tidak bisa melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi, jika bersikeras memberikan pas foto seperti ini (sambil menunjukkan salah satu foto kami).” Kami hanya menjawab pernyataan itu dengan satu kalimat sebelum melangkah keluar ruangan, “Jilbab ini perintah Allah pak, jika Allah berkehendak kami pasti bisa kuliah, insyaAllah!" 

Alhamdulillah, kami semua pada akhirnya memang bisa kuliah, di terima di perguruan tinggi negeri di tempat yang berbeda. Maka kepada siapakah rasa takut seharusnya engkau tunjukan, kawan?


Egoiskah aku?
Saat diri ini menolak mengikuti salah satu kegiatan Ospek Jurusan, dimana saat itu semua anak baru diatur berpasang-pasangan. Aku berpasangan dengan komting angkatan diminta berjalan layaknya model fashion sedang show dan wajah ku mesti dipoles dengan make up yang tebal dan yang memolesnya harus sang komting. Bentakan demi bentakan tidak membuaku bergeming dari tempat ku duduk, aku hanya menatap senior ku dengan tatapan tajam sehingga akhirnya mereka membiarkan ku sendirian. Sesuatu yang bertentangan dengan batin tak bisa ku ikuti, tak perduli siapa dan bagaimana. Dan Allah tidak pernah meninggalkan ku sendirian, kapan pun!

Egoiskah aku?
Ketika tidak mau berjabat tangan dengan yang bukan mahram, termasuk dosen, ketua jurusan, bahkan tamu lelaki yang datang ke rumah saat lebaran. Padahal Jumhur ulama telah sepakat bahwa berjabat tangan dengan yang bukan mahram adalah haram. Apakah berita ini tidak sampai pada khalayak? Aku tidak mengerti, terlalu banyak hal aneh di dunia ini, pertanda zaman memang sudah mendekati titik akhir.

Egoiskah aku?
Ketika secara halus menolak permintaan ibu untuk tampil modis dan mengikuti tren hijab saat ini. Modis atau cantik and syar’i is okay, but modis atau cantik namun tidak syar’i no way. Bukankah Allah meminta hambaNya untuk berbakti kepada kedua orang tua mereka selama kedua orang tua tersebut tidak menjadi penghalang dalam ketaatan? Mush’ab bi Umair salah satu contohnya, ibunya kecewa saat beliau masuk islam dan mengancam untuk mogok makan, namun Mus’ab tetap berpegang teguh menjadi seorang muslim dan memperlakukan ibunya dengan baik.

Egoiskah aku?
Saat berupaya menjaga diri ini agar kejadian buruk tidak lagi terulang dengan menghapus foto-foto di dunia maya dan menyimpan nya sebagai koleksi pribadi saja, serta meminta teman-teman ku untuk tidak meng-tag my picture on social media but sends it by private.

Egoiskah aku?
Tetap menjadi diriku yang dulu ketika teman-teman ku banyak berubah, yang dulu tidak pernah upload private picture di dunia maya, sekarang menjadi gemar selfie. Dunia memang telah berubah. Ketika dulu aku sering menyaksikan kakak kelas berbicara dengan lawan jenis dengan menundukkan pandangan, sekarang hal itu menjadi hal asing di kalangan para aktivis dakwah. Saat dulu para muslimah tidak ada yang berani memasang foto pribadi bahkan berfose bersama lawan jenis, sekarang pemandangan itu terlihat biasa saja, bahkan di kalangan aktivis dakwah pun hal ini lumrah.

Aku tidak tahu apa yang salah atau diriku yang terlalu kolot untuk berubah. Jika dulu dari pakaian kita bisa menilai seseorang itu baik, namun sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi. Eksistensi telah mereduksi begitu banyak nilai-nilai. Membius dengan cepat bahkan Aktivis Dakwah Kampus (ADK) dengan bukan ADK tidak lagi terlihat perbedaannya.

Siapa yang tidak ingin eksis, kawan? Semua orang ingin eksis, namun sudah tepatkah cara kita untuk eksis?

Demi eksistensi, dulu kepala sekolah melawan hati nuraninya, beliau tahu kami benar waktu itu, namun aturan dinas menjadi prioritas utamanya. Karena apa? Karena jika tidak begitu, eksistensi dunianya bisa terusik.

Demi eksistensi banyak hal-hal yang kurang pantas dilakukan, jika tidak dilakukan, tidak enak pada atasan, tidak diterima oleh lingkungan, dan tidak mendapat perhatian, etc. Terkadang aku heran, mengapa begitu takutnya kehilangan eksistensi yah? Aku salut pada Uwais Al Qarni, sahabat Nabi yang begitu terkenal di antara penduduk langit walau di dunia dianggap bukan siapa-siapa. Adakah nikmat yang lebih amazing dari itu? Para sahabat yang hari ini kisahnya kita dengar, tidak satu pun dari mereka memiliki social media, namun kenapa kisah mereka abadi? Adakah engkau berfikir akan hal itu, kawan?

Sungguh! Niat kita akan menentukan akhir dari perjalanan kita. Jika berpegang teguh pada nilai-nilai yang sifatnya principle dianggap egois, biarlah aku tetap dalam keegoisan ku, walau untuk itu harus kehilangan eksistensi dimana pun aku aktif saat ini.

Jika untuk sebuah eksistensi aku harus membunuh nurani, maka biarkan eksistensi itu pergi asalkan nurani ku tetap hidup. Karena aku percaya mudah saja bagi Allah untuk membuat seorang manusia eksis dimana pun ia berada.

Jika sebuah program dibuat untuk berbagi dan menginspirasi karenaNya, maka insyaAllah program itu akan abadi selamanya, namun jika program tersebut diadakan hanya untuk bisa eksis di dunia maya dan menarik follower sebanyak-banyaknya, maka tunggulah kejatuhannya karena program yang sama bisa saja hadir dan mengantikan eksistensi yang telah dibangun lama.

Hidup ibarat roda, hanya mereka yang senantiasa meluruskan niat karenaNya yang akan terus berjalan, walaupun perlahan. Terima kasih ya Rabb atas nikmat mu hari ini. Atas nikmat menjadi diriku sendiri dan tidak membuat ku tenggelam dalam panggung sandiwara.


Sumber: Islam Post


Comments

Popular posts from this blog

TAKE TIME TO LEARN

ALLAH IS THE BEST PLANNER (Part 3)

MUSLIMAH PRODUKTIF ITU, KITA