Dari Taxi Ke Partai Politik, Katanya...



Tahun 2014 merupakan tahun yang panas, bukan karena panasnya cuaca, toh di beberapa daerah banjir dasyat melanda, namun panasnya situasi politik karena persaingan menuju senayan dan menjadi penjabat publik semakin kentara di belahan bumi bernama Indonesia. Di media masa perang kata sangat terasa, di dunia maya beragam opini sengit pun tercipta antara haters dan lovers, bahkan di dunia nyata nyawa melayang mulai sering pula jadi berita. 

Bagi sebagian orang, partai itu KATANYA tidak penting, hanya sebagai sarana saja, yang penting kerjanya. Partai itu tidak penting, ianya hanyalah alat atau instrument saja. Awalnya saya pikir iya juga, namun sejenak saya renungi kata-kata tersebut. Muncul pertanyaan dalam hati saya, “mungkinkah sesuatu itu tidak penting jika ianya menjadi alat bagi kita dalam mendapatkan apa yang kita butuhkan? Mungkinkah ianya tidak penting padahal tanpa ianya kita tidak bisa meraih apa yang kita cita-citakan?” 


Analoginya sederhana, jika seseorang ingin pergi ke suatu tempat, tentunya ia butuh sarana untuk sampai ke tempat tujuan tersebut, dan sarana itu pastinya sarana transportasi, apakah ia memilih sarana transportasi udara, darat atau laut, semua tergantung pada orang tersebut. Jika tempat itu sangat jauh, maka transportasi udara tentu lebih tepat, jika jaraknya tidak begitu jauh dan juga tidak begitu dekat, mungkin transportasi laut lebih efektif, dan jika tempat yang dituju masih dalam satu kota, tentu transportasi darat lebih efefien. JIka sekiranya orang tersebut tidak mempunyai sarana transportasi, apakah mungkin ia sampai ke tempat tujuan? Artinya sarana itu penting, bukan? Kecuali orang tersebut superman bisa terbang dari satu tempat ke tempat lain. 

Ada juga yang bilang, KATANYA semua partai itu sama saja, jadi pilih partai apapun tidak masalah, yang penting orangnya ok. Hmm…saya jadi teringat perjalanan saya ke Jakarta, waktu itu adzan maghrib telah berkumandang, dan saya masih di Bandara Sukarno Hatta. Setelah shalat maghrib baru Damri tujuan ke Kampung Rambutan datang, saya naik dan duduk di deretan ke tiga. 

Itu bukan perjalanan pertama saya ke Jakarta, namun rute Damri dari Bandara Sukarno Hatta ke Kampung Rambutan adalah hal baru bagi saya, apalagi alamat yang saya tuju masih asing, sungguh saya belum pernah kesana. Singkat cerita seorang bapak menyapa saya, ia bertanya saya hendak kemana, saya tunjukkan alamat rumah teman yang tertera di Hand Phone saya, terus si bapak menyarankan agar saya turun disuatu tempat, dan dari sana saya dianjurkan untuk naik taxi, sebab jika saya turun lagi di stasiun Kampung Rambutan, saya harus balik lagi ke belakang, belum lagi bawaan saya lumayan banyak. Tentu hal tersebut akan sangat merepotkan. Saya menelpon teman menanyakan perihal saran si bapak tersebut, dan teman saya mengiyakan. Saya minta tolong si bapak untuk mengatakan ke supir Damri tempat dimana saya akan turun nanti, dan sebelum Damri berhenti di tempat tersebut si bapak berpesan kepada saya, “nanti kamu pilih taxi “B” atau taxi “E” saja, jangan naik taxi yang lain ya…” Saya Tanya, memangnya kalau taxi yang lain kenapa pak? “Kamu itu perempuan, dan ini sudah malam, kedua taxi itu lebih aman, track recordnya lebih baik, dan jangan lupa setelah naik catat nama supir dan nomor taxinya lalu kirim ke orang terdekat” kata si Bapak. “Baik pak, terima kasih” ucap saya.
 
Taxi dengan beragam warna
Analogi kan saja taxi itu partai politik. Ada banyak taxi di sekitar kita dengan beragam warna, begitu pun dengan partai politik. Jika untuk urusan taxi saja kita dituntut memilih dengan cermat, tentunya hal yang sama juga berlaku untuk partai politik. Jika semua taxi sama tentunya si bapak tidak akan menyarankan saya untuk naik taxi “B” atau “E”, bukan? Namun karena keselamatan saya selama perjalanan menjadi taruhan, dan hal tersebut juga menjadi kewajibannya sebagai seorang manusia untuk berbuat baik kepada sesama dengan menasehati saya, maka begitu pun dengan partai politik. Apa benar semua partai politik itu sama? Dari warna saja sudah berbeda, belum lagi visi misinya. KATANYA semua partai terjerat korupsi sekarang ini, untuk apalagi kita dukung dan suara kita beri, golput saja, biar tidak mubazir. 

Well, mari kita analisis bersama. Jika taxi punya track recordnya, partai politik juga punya donk. Nah tinggal pilih saja track record keburukan yang paling sedikit yang mana, itu yang kita dukung. Jika semua partai dianggap korupsi, dari sekian banyak partai politik yang terkena kasus korupsi, mana yang paling sedikit persentasenya, kesanalah seharusnya kita percayakan suara kita. Boleh saja kita hanya melihat orangnya, dan Alhamdulillah jika memang orang tersebut menjalankan perannya dengan baik hingga akhir. Namun kalau fokusnya hanya pada orang saja, penyimpangan yang akan terjadi justru lebih tidak terkendali. Kembali ke analogi taxi, jika kita memilih sebuah taxi hanya dengan melihat supir taxinya tanpa melihat brand taxinya, dengan asumsi si supir itu orang baik. Namun ditengah perjalanan dugaan kita meleset, lantas kita complain ke perusahaan taxi tersebut, namun karena track record perusahaan tersebut kurang baik, complain kita tidak akan ada gunanya, tidak akan ada proses perbaikan. Tentunya akan berbeda halnya jika taxi yang kita pilih dari perusahaan yang track recordnya lebih baik, maka complain kita akan ditindaklanjuti, apakah kemudian supir taxi tersebut mengundurkan diri dari perusahaan tersebut, atau dipecat tergantung dari efek buruk yang dilakukannya. Inilah pentingnya melihat track record sebuah partai politik selain melihat siapa orang yang diusungnya.


Track Record Partai Korupsi

Memilih sama dengan mubazir? Justru mubazir itu kalau kita memilih golput, suara kita akan terbuang percuma, padahal kita punya kesempatan memperbaiki kondisi bangsa dengan cara berpartisipasi. Jika perjalanan yang singkat dengan menggunakan taxi saja kita harus benar-benar selective, masak sich untuk masa depan bangsa 5 tahun kedepan kita bersikap masa bodoh? 

Ada juga yang bilang, saya akan mengajak seluruh keluarga besar saya, dan seluruh penduduk desa apabila ada partai politik yang 100% tidak korupsi. Saya hanya bisa tersenyum mendengar ungkapan tersebut, ini naïf sekali. Jika manusia saja tidak sempurna, bagaimana mungkin kita berharap sesuatu yang dibentuk oleh manusia bisa 100% sempurna? Atau apakah kita bisa menjamin bahwa diri kita sendiri tidak pernah melakukan dosa? Atau bisakah kita menjamin bahwa kita bisa berfikir positif 100% tanpa terbersit negative thinking sekalipun? Bukankah manusia dan malikat itu tidak sama? Lantas mengapa kita menuntut jama’ah manusia seperti jama’ah malaikat, jika kita sendiri belum tentu mampu seperti malaikat. Think again!

KATANYA lagi, ada kader atau simpatisan partai A, yang secara ideologis dan visi-misi jauh berbeda dengan partai B. Sebagai kader dan simpatisan dari partai A, ia memilih secara sadar dan penuh keyakinan Partai A tersebut. Namun, pada saat usai pemilihan, ternyata partai A ini mendapat suara yang tidak signifikan, dan kemudian memutuskan berkoalisi dengan partai B, yang ketika kampanye katanya sering juga jurkam partai A mengkritik partai B tersebut. Akhirnya sang kader dan simpatisan tersebut bertanya-tanya, motif koalisinya apa benar karena pertimbangan ideologis dan kesamaan visi-misi, atau cuma cari posisi dan kursi sich? Apesnya lagi, posisi dan kursi ini menghadirkan turbulensi yang menodai Partai A kesayangan sang kader dan simpatisan dengan skandal korupsi dan skandal-skandal lainnya. Sang kader berkata pada diri sendiri; well, demokrasi yang berprinsip "dari kita, oleh kita, dan untuk kita" sejatinya mirip masturbasi. Nah, kembali ke pertanyaan awal, apakah ini mubadzir?

Imam Bukhari dan Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda :
JIka kiamat terjadi dan salah seorang di antara kalian memegang bibit pohon kurma, lalu ia mampu menanamnya sebelum bangkit berdiri, hendaklah ia bergegas menanamnya.”

Dari hadits tersebut di atas kita mengambil sebuah pelajaran penting tentang sebuah ikhtiar, dimana pada hari, yang hari itu menjadi hari terakhir kehidupan manusia di dunia saja, Rasulullah masih menganjurkan kita untuk berbuat, yakni menanam bibit kurma, walaupun kita tidak pernah tahu apakah setelah kita tiada bibit tersebut akan tumbuh dan berbuah atau sebaliknya mati. Apapun yang terjadi pada bibit itu kita tetap mendapat pahala atas ikhtiar yang telah kita lakukan. Artinya berikhtiarlah, apapun hasil dari ikhtiar tersebut, wewenang Allah berlaku disana. 

Berdasarkan hadits tersebut, apa pantas kemudian kita golput, hanya karena tidak ada partai yang bagus dalam kaca mata kita, atau karena alasan biar suara tidak mubazir dalam analisis sempit kita, atau karena prasangka buruk kita bahwa keadaan tidak mungkin berubah, semuanya hanya sebuah permainan dan masturbasi politik belaka? Padahal dalam Alqur’an sendiri Allah berfirman, "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah nasib atau keadaan yang ada pada dirinya." (QS. Ar-Ra’d: 11) Bagaimana mungkin kita berharap bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan maju, kalau kita sendiri tidak mau berpartisipasi dalam mengupayakannya seperti itu? So, yang manakah pilihan anda? Pilihlah partai yang track record keburukannya lebih rendah dari yang lainnya.




Comments

Popular posts from this blog

TAKE TIME TO LEARN

ALLAH IS THE BEST PLANNER (Part 3)

MUSLIMAH PRODUKTIF ITU, KITA