LIMA BELAS RIBU RUPIAH

Menapaki jejak masa lalu tidak melulu bicara tentang siapa yang tersakiti dan kenangan pahit apa yang tersimpan disana, namun juga apa yang bisa dipelajari dari setiap peristiwa yang terjadi. Dimana peristiwa tersebut bisa menjadi masa lalu dan juga bisa menjadi masa depan, semua tergantung bagaimana cara kita menyikapinya saat ini.

Well, beberapa minggu yang lalu saya kembali menginjakkan kaki di tempat itu, salah satu kawasan terparah tsunami menerjang 10 tahun yang lalu. Yeah..kawasan Pekan Bada merupakan daerah yang sering saya lewati saat bekerja sebagai CF dalam program CBR (Community Based Recovery) dibawah DAI/USAID. Hampir setiap hari saya bertemu dengan para warga, arrange meeting dengan donatur, mengontrol masuknya barang untuk pembangunan infrastuktur, memastikan training motivasi dan skill berjalan lancar serta pembinaan leadership berlangsung baik, etc.


Setelah sekian lama, saya kembali menelusri lorong waktu, bukan untuk melakukan tugas-tugas saya dulu, namun lebih kepada perenungan dan mencari jejak-jejak hikmah.

Saya percaya setiap kita punya cerita, punya nilai yang bila dibagi bisa jadi memberi inspirasi bagi orang lain, or paling tidak membuat kita belajar sesuatu tentang kesabaran dan kesyukuran, atau berdamai dengan takdir.

Singkat cerita, kedatangan saya kali ini ingin melihat kondisi mereka yang tinggal di wilayah pesisir. Dulu, profesi nelayan sempat hilang karena perahu yang hancur dan mereka pun trauma melihat lautan. Alhamdulillah sekarang ini geliat para nelayan telah kembali.

Aceh terdiri dari 23 kabupaten/kota, 18 kabupaten/kotanya merupakan daerah pesisir. Jadi kebayangkan betapa luasnya kawasan pesisir di propinsi ini. Pantas saja Aceh memiliki garis pantai yang panjang bahkan terpanjang di pulau Sumatera. Namun begitu panjangnya garis pantai ini, serta kayanya sumber daya alam lautan ini belum mampu mengsejahterakan masyarakat pesisir. Tercatat, 25% dari masyarakat pesisir masih hidup dalam kemiskinan. Oleh karenanya saya tergerak saja ingin survey secara personal akan hal tersebut. Itulah tujuan kedatangan saya. Alhamdulillah dibantu oleh seorang sohib lama saya, Linda, saya berhasil menjumpai beberapa nelayan dan mewawancarai mereka.

Ada satu aktivitas yang menarik perhatian saya, yaitu PENARIKAN PUKAT. Mungkin bagi mereka yang tinggal dikawasan pesisir ini merupakan hal biasa, pemandangan rutin tiap pagi dan sore. Namun tidak bagi saya sebagai pendatang. Penarikan pukat ini dilakukan oleh lebih kurang 15 orang. Ada satu orang sebagai pawang diantara mereka, pawang ini merupakan leadernya dan juga owner dari pukat tersebut.


Proses penarikan pukat ini ternyata cukup memakan waktu dan energi. Itu sangat jelas terlihat dari raut wajah mereka serta peluh di tubuh mereka. Penarikan bisa dilakukan lebih dari sekali, tergantung pada hasil tangkapannya. Jika hasil yang mereka peroleh sedikit, maka proses penarikan ulang akan dilakukan beberapa kali.

Tahukah kamu, kawan?
Terkadang walau sudah berulang-ulang mereka lakukan penarikan, hasil yang diperoleh juga tak seberapa, malah bisa dibilang tidak sebanding dengan tenaga yang mereka keluarkan.


Upah para penarik pukat ini dalam satu hari hanya berkisar Rp. 15.000,- atau Rp. 20.000,-. Cukup ironis, bukan? Dengan penghasilan tersebut tentu saja kehidupan mereka masih berada dalam lingkup kemiskinan.

Saya bertanya pada seorang penarik pukat, "pak, lebih capek mana menarik pukat atau melaut?" Beliau mengatakan lebih enak melaut, kita tebar jaring or pancingan lalu menunggu, sedangkn menarik pukat energi yang terkuras cukup banyak, jadi cukup melelahkan. Saya kembali bertanya, "kenapa tidak melaut saja, pak?" Saya lihat bapak itu menghela nafas panjang dan menjawab, "kami tidak punya perahu". Mengertilah saya bahwa mereka para penarik pukat itu adalah mereka yang tidak punya perahu untuk pergi melaut, dan tidak punya pilihan lain untuk mencari nafkah selain dengan menarik pukat, walaupun lelah dan penghasilan hanya lima belas ribu rupiah.

Ada yang saya khawatirkan dari penarikan pukat ini jika terus menjadi sebuah kebiasaan. Bukan hanya soal penghasilan yang mereka dapatkan, namun juga ketersediaan ikan untuk masa yang akan datang. Penarikan pukat ini menjaring semua ikan, termasuk ikan-ikan kecil, yang kemudian dibairkan mati begitu saja di daratan. Bisa jadi, hasil tanggapan mereka sedikit karena ikan-ikan yang telah berkurang karena ulang tangan mereka sendiri tanpa mereka sadari, atau mereka paham namun tetap melakukannya demi kebutuhan harian.


Urusan perut memang urusan yang pelit, apalagi jika jauh dari koridor keimanan. Saya teringat kata-kata Jendral Sudirman, "Semua bisa diselesaikan dengan Iman". Jika banyak problem yang terjadi di negeri silih barganti belum usai juga. Apakah ini pertanda ada yang tidak beres dengan keimanan pemimpin dan penduduk negeri ini? Waallahu a'lam..


Saya tertekun sejenak, melihat indahnya pemandangan lautan sekaligus pemandangan para penarik pukat yang menyedihkan dengan peluh yang bercucuran. Lima belas ribu rupiah mungkin setara dengan sarapan pagi saya, namun bagi mereka uang segitu merupakan sumber penghasilan untuk sehari.

Bersyukurlah kita, jika Allah masih melimpahkan rezeki yang banyak, karena dibelahan tempat lain di negeri ini, masih banyak mereka yang kelaparan dan sulit memenuhi kebutuhan harian.

Lamtegoh, July 2015.


Comments

  1. Kalimatnya gak banyak metafor, justru malah bikin merinding dan kena banget sama kisah di dalamnya. Kalau lihat kondisi kayak gitu memang miris, ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya tiwi misi banget. Sengaja bikin tulisan begini. Sapa tahu pembaca bisa kasih masukan solusi terbaik utk mereka bagaimana.Makasih sudah berkunjung :)

      Delete
    2. Iya tiwi misi banget. Sengaja bikin tulisan begini. Sapa tahu pembaca bisa kasih masukan solusi terbaik utk mereka bagaimana.Makasih sudah berkunjung :)

      Delete
  2. pukat itu jaring ya?

    ReplyDelete
  3. Upah penarik pukat 15 ribu. Sungguh miris

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya setara dgn sarapan pagi kita. Miris banget. Thanks didit sudah datang ke rmh ku. :)

      Delete
  4. Pukat bukannya dilarang yaa? Bisa mengganggu ekosistem karena ikan kecil bisa ikut terambil

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah itu dia sprt saya sampaikan diatas dan realita dilapangan mmg begitu. Makasih ayu sudah dtg bertamu. :)

      Delete
  5. Pukat bukannya dilarang yaa? Bisa mengganggu ekosistem karena ikan kecil bisa ikut terambil

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah itu dia sprt yg saya sampaikn diatas, nmn realita di lapangan mmg begitu.

      Delete
  6. Dilema, antara kelestarian alam dan kelestarian manusia

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TAKE TIME TO LEARN

ALLAH IS THE BEST PLANNER (Part 3)

MUSLIMAH PRODUKTIF ITU, KITA